Tasyakuran Harlah Ke-71 RMINU, Prof Alamsyah: Harap Pesantren Jadi Basis Penjaga Nilai Kebangsaan
Pelaksana Harian (Plh) Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Lampung, Prof. Alamsyah menaruh harapan besar pada Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) Provinsi Lampung atas penyelenggaraan setiap program yang akan dijalankan dan menaruh harapan agar pesantren menjadi basis penjaga nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Hal ini disampaikan pada acara tasyakuran Hari Lahir (Harlah) RMI ke-71 NU yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Hidayat Gerning, Rabu malam (21/5/2025).
Ia mengakui, pondok pesantren adalah tempat mencetak ulama dan kader-kader penerus bangsa, khususnya yang berpaham Ahlussunah wal Jamaah, berharokah An-Nahdliyah serta bernilai berwawasan kebangsaan.
“Lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah pondok pesantren,” ujarnya.
Ia menyampaikan, bahwa sebelum Islam masuk ke Indonesia sudah ada sejenis pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang pengajarannya dilakukan oleh para pemuka agama lain.
“Setelah wali songo masuk maka ditransformasikan dengan pendidikan keagamaan ke-Islaman dengan pengakulturasi budaya Indonesia,” ucapnya.
Menurutnya, ini yang mendorong pesantren dapat bertahan hingga sekarang bahkan akan bertumbuh hingga hari kiamat.
Wakil Rektor 1 Bidang Kemahasiswaan UIN Raden Intan Lampung ini mengutarakan, saat ini pondok pesantren yang berada di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) berjumlah sekitar 27.000 lembaga pesantren.
“13.000 pondok pesantren diantaranya yang dengan tegas melabelinya dengan mengatasnamakan NU,” tuturnya.
Ia melanjutkan, pondok pesantren juga sebagai pondasi kuat dalam merawat keberagaman yang ada di Indonesia. Hal ini menurutnya, bahwa keberagaman harus dijaga sebaik mungkin dan pesantren lah sebagai pelopornya.
“Pondok pesantren selalu memberikan kekuatan dalam menjaga nilai kebangsaan di tengah keberagaman. Perbedaan inilah yang nantinya membawa kepada rahmatan lil alamin,” ucapnya.
Prof. Alamsyah menyebut, pada masa dahulu pemberian nama pondok pesantren tidak dengan menggunakan bahasa Arab tetapi dengan menggunakan nama lokasi dan tempat pendirian pesantren.
“Sebut saja Pondok Tebu Ireng, Langitan, Lirboyo, Sidogiri, dan lainnya,” sebutnya.
Hal ini menurutnya sebagai wujud pengakulturasian dengan tidak menghilangkan identitas ke-Indonesiaan untuk menjaga nilai kebangsaan agar tetap lestari.
“Penggunaan nama dengan tidak menggunakan bahasa Arab supaya juga tidak terjadi adanya kecurigaan terhadap pondok pesantren sebagai basis penjaga nilai dan laboratorium penguatan nasionalisme,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Prof. Alamsyah turut memberikan tugas untuk RMI PWNU Lampung agar senantiasa memperhatikan dan memperkuat citra pondok pesantren.
“Memperkuat pesantren di pedesaan dan juga di perkotaan,” tuturnya.
Hal ini menurutnya, sebagian besar masyarakat tinggal di perkotaan, sehingga hal ini tentu akan berdampak dengan lembaga pendidikan pondok pesantren dalam menunjukkan eksistensinya di tengah lingkungan masyarakat.
Guru Besar Ilmu Hadist ini menyebut, pentingnya untuk menjalankan program plangisasi pondok pesantren untuk menunjukkan eksistensi dan jati diri pondok pesantren NU.
“Menurut data, banyak warga NU yang memondokkan anaknya bukan di pesantren NU, dan pemberian nama pondok NU untuk menunjukkan jati diri kepada masyarakat banyak,” harapnya.
Ia turut bangga dengan RMI PWNU Lampung dengan segala program yang ditawarkan. Ia menyebut bahwa RMI harus tetap berkoordinasi dengan PWNU Lampung dalam menurunkan program dari RMI PBNU.
“Juga harus membangun kultur dalam menjadikan pondok pesantren sebagai tempat yang teduh dan nyaman dalam mendidik kader generasi penerus bangsa,” ungkapnya.
Menurutnya, perjuangan khidmat di Nahdlatul Ulama (NU) salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan mel alui pondok pesantren.
“Sewaktu menjadi pelajar melalui IPNU IPPNU, sewaktu menjadi mahasiswa melalui PMII, dan sewaktu purna mahasiswa melalui Ansor,” tegasnya.